Masyarakat Indonesia yang multi etnis dilindungi oleh peraturan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan daerah, Menurut Soerjono Soekanto, pengertian masyarakat adalah proses terjadinya interaksi sosial, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu interaksi sosial dan komunikasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, partisipasi masyarakat adalah peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran dan kepentingannya dalam pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, partisipasi masyarakat mencakup penyusunan peraturan daerah dan kebijakan daerah yang mengatur dan membebani masyarakat, perencanaan, penganggaran, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan daerah, pengelolaan asset dan/atau sumber daya alam daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik.
Penyaluran aspirasi oleh masyarakat dapat dilakukan melalui suatu wadah di pemerintahan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat baik dipusat maupun di daerah. Pada daerah, DPRD memiliki fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan sebagai representasi rakyat di daerah yang menjaring aspirasi masyarakat. Setiap peraturan pasti terdapat pro dan kontra terhadap substansi pada peraturan tersebut, apalagi peraturan daerah yang menyentuh daerah dalam kerangka pembangunan daerah. Masyarakat dapat mengajukan keberatan ataupun pembatalan atas peraturan daerah dapat mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pasal 251 ayat (2) berbunyi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah “Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”. Sedangkan Pasal 251 ayat (4) berbunyi “Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.
Apabila Gubernur mengeluarkan keputusan tentang pembatalan peraturan daerah, maka dapat berakibat digugatnya keputusan gubernur tersebut, karena keputusan merupakan produk hukum daerah berbentuk penetapan (Pasal 9 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015) yang tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011) tetapi merupakan salah satu objek gugatan dalam sengketa tata usaha Negara (Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986).
Berkaca pada Putusan Mahkamah Konstitusional, maka masyarakat dapat mengajukan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota ke Mahkamah Konstitusional bukan ke Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Atau Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya mengenai keberatan atau pembatalan perda tersebut melalui DPRD, yang kemudian dapat dibahas kembali mengenai Perda dimaksud dengan pihak eksekutif untuk dicabut atau diubah perda yang diajukan oleh masyarakat tersebut. Mengenai pengaturan mengubah atau mencabut suatu perda telah diatus juga dalam Angka 221 sampai dengan Angka 238 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011.
Jadi Apabila suatu Peraturan Daerah ingin diajukan untuk dibatalkan atau diubah sebaiknya masyarakat menyampaikan terlebih dahulu pada tingkat lokal sebagai upaya awal dalam pembenahan pengaturan substansi perda dimaksud untuk dilakukan pencabutan ataupun perubahan atas perda itu, hal ini juga untuk penyesuaian terhadap sistem hukum nasional sebagai hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.