Pengertian diskresi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion power”, sedangkan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah diskresi dengan pengertian “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.
Dalam undang-undang pengertian diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Dalam pelaksanaannya diskresi merupakan salah satu hak pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas, tetapi pelaksanaan tugas melalui diskresi tersebut hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Keputusan atau tindakan pejabat secara bahasa dapat didefinisikan dua hal yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Keputusan berkaitan dengan tindakan yang dilakukan melalui kebijakan berupa penetapan sedangkan tindakan dapat diartikan sebagai perlakuan secara langsung oleh pejabat tanpa melalui penetapan.
Keputusan atau tindakan pejabat berupa diskresi ini tidak serta merta bisa dilaksanakan, karena pelaksanaan diskresi harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Pasal 22 tersebut di atas mencerminkan pentingnya penggunaan diskresi, karena pada pelaksanaannya tidak semua peraturan dapat menjangkau secara komprehensif tugas, wewenang dan tanggungjawab pejabat khususnya teknis pelaksanaan sehingga perlu adanya tindakan subyektif pejabat dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23 alasan kenapa diskresi diberikan, meliputi karena ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan, peraturan perundang-undangan tidak mengatur, peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Parameter penggunaan diskresi ini lebih konkrit bisa dijelaskan sebagai berikut, pertama menyangkut pilihan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini seorang pejabat dihadapi dengan dua pilihan tindakan, dari dua alternatif tersebut pejabat diberikan keleluasan untuk memilih salah satu sehingga pilihan itulah yang disebut dengan diskresi.
Kedua, peraturan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dalam arti bahwa sebuah aturan terkait teknis pelaksanaan tugasnya belum ada, belum lengkap atau multitafsir sehingga seorang pejabat harus mengeluarkan diskresi agar tidak terjadi stagnasi dalam pelaksanaan tugas.
Sedangkan ketiga, adanya stagnasi pemerintahan, hal ini dapat diartikan sebagai keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Dalam hal terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum. Hal ini banyak dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan, bahkan seorang presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang sebagai respon menghadapi keadaan urgensi.
Secara normatif diskresi ini dapat dilakukan oleh setiap pejabat baik itu tingkat pusat maupun daerah, tetapi suatu diskresi harus dilandasi oleh kewenangan yang mempunyai batasan meliputi batas waktu berlaku, batas wilayah, dan wewenang lain yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prakteknya penggunaan diskresi masih dipahami bahwa diskresi dapat dilakukan walaupun bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, padahal Pasal 24 huruf b secara jelas menyebutkan bahwa diskresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Analoginya pemberian diskresi merupakan hak pejabat yang diberikan oleh undang-undang dengan alasan antara lain dilaksanakan demi kepentingan umum dan tidak melanggar asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) padahal normatifnya pemberian diskresi dilakukan diantaranya karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, kecuali dalam keadaan mendesak atau urgensi.
Tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas bukan berarti boleh menabrak atau melanggar ketentuan lainnya yang sudah mengatur, sudah lengkap, atau sudah jelas. Karena apabila diskresi dibuat karena alasan tidak ada aturan tetapi dengan tujuan menabrak aturan lain maka secara hukum telah menyalahi wewenang sehingga dapat dituntut atas kesalahan tersebut.
Secara yuridis berlakunya asas diskresi tersebut tidak mengesampingkan asas legalitas, sebab sikap dan perilaku seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya dituntut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena apabila tidak sesuai dengan ketentuan secara hukum telah menyalahi dan berakibat dapat menjadi obyek pemeriksaan.
Sebagai sebuah negara hukum barang tentu semua tindakan atau perbuatan khususnya pejabat harus berdasarkan hukum, karena sebagai pondasi negara sudah jelas amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Jika tindakan pejabat dilakukan tanpa atas dasar hukum maka bukan kemajuan tetapi justru kemunduran karena jika celah melanggar peraturan terbuka bukan tidak mungkin dengan dalih diskresi yang terjadi malah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, penggunaan diskresi harus dengan ketelitian yang sesuai dengan ketentuan dengan demikian selain penggunaannya tepat sasaran juga tidak menimbulkan akibat hukum bagi pejabat yang mengeluarkan.