Menjaga Kebersihan, Sebuah Gerakan Sosial

Hampir setiap pagi di Alun-alun Taman Merdeka, di kursi-kursi sepanjang trotoar yang disediakan Pemkot Pangkalpinang, berserakan sampah sisa minuman dan makanan. Amat miris memang ditengah semakin majunya sebuah kota, tetapi semakin mundurnya peradaban warganya. Padahal, warga yang duduk-duduk di kursi dan menikmati taman tersebut sebagian besar adalah orang yang terpelajar atau paling tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Tempat-tempat publik yang dipenuhi sampah membuat kota Pangkalpinang sebagai wajah ibukota provinsi menjadi tempat yang tidak nyaman.

Apa yang salah dengan lingkungan pendidikan kita selama ini. Apakah orang tua tidak pernah mendidik kita untuk membuang sampah pada tempatnya? Apakah sekolah tidak pernah mengajarkan untuk menjaga kebersihan? Apakah harus ada seperangkat regulasi dan sanksi denda dengan penegakkan represif, agar warganya taat menjaga kebersihan.

Perlu ada upaya membangun kesadaran kolektif kepada masyarakat  agar menjaga kebersihan lingkungan dengan membiasakan diri untuk membuang sampah pada tempatnya.  Apa lagi dampak ikutan dari penumpukan sampah itu antara lain sumber penularan penyakit, mengganggu estetika, serta menurunkan tingkat kenyamanan.

Menurut Emile Durkheim (1893), kesadaran kolektif atau kesadaran bersama (conscience collective) adalah seperangkat keyakinan, ide, dan sikap moral bersama yang beroperasi sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat. Secara umum, ini tidak mengacu pada hati nurani moral secara khusus, tetapi pada pemahaman bersama tentang norma-norma sosial.

Kita dapat belajar dari masa pandemi Covid19, dimana Negara melalui norma-norma yang tercantum dalam regulasi berupaya membangun kesadaran dan kebiasaan masyarakat untuk menanggulangi penyebaran Covid19 melalui Protokol Kesehatan 5M, yakni; memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Ketika pandemi telah mereda, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker masih ditaati oleh sebagian warga. Ada rasa tidak nyaman, bila tidak memakai masker ketika sedang batuk-batuk di tempat publik. Terbiasa mencuci tangan bila selesai beraktifitas di luar ruangan.

Menjaga kebersihan sebagai sebuah gerakan sosial dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat, membangun kesadaran bahwa menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan sebagai sebuah norma sosial bahkan menjadi norma adat/ kebiasaan. Sehingga lahir kesadaran dalam diri individu/warga, ketika akan membuang sampah sembarangan, berarti ia memiliki konsekuensi akan disebut: “dak beradat” (tidak beradat), “dak sekulah” (tidak berpendidikan), “dak suah diajar” (tidak pernah mendapat tunjuk ajar dari orang tua) dan sebagainya. Pada akhirnya, norma-norma yang hidup tersebut menjadi pedoman perilaku bagi setiap warga, (Law as a tool of sosial engineering) norma sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat.

Hal yang paling sederhana dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga. Orang tua memberi teladan dan contoh yang baik melalui menyediakan tempat sampah di rumah, mengumpulkan sampah pada wadah yang tertutup dan membuangnya pada tempat yang telah disediakan atau diambil oleh petugas kebersihan. Memberi tunjuk ajar kepada anak-anak akan pentingnya kebersihan, melalui; mengurangi sampah yang dihasilkannya, memanfaatkan kembali sampah yang masih bisa dipakai atau mendaur ulangnya. Orang tua pun harus legawa, ketika diingatkan anak-anaknya bila kedapatan membuang sampah sembarangan, buah dari pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah. Begitu pula halnya di lingkungan sekolah. Sejatinya selama ini para guru telah mendidik peserta didik melalui praktik langsung, melalui pembagian tugas kebersihan antar kelas. Tetapi perlu juga adanya keteladanan, dorongan disiplin dan kreatifitas dari para pendidik, agar menjaga kebersihan tidak hanya sebatas slogan dan kegiatan bersih-bersih kelas dan sekolah saja.

Menjaga kebersihan lingkungan tidak semata tugas Pasukan Kuning (Petugas Kebersihan atau Dinas Kebersihan saja. Sikap masa bodoh dan salah kaprah sebagian masyarakat bahwa sudah membayar retribusi kebersihan berarti membersihkan dan membuang sampah adalah tugas pemerintah, harus diakhiri. Pengelolaan sampah yang benar selain untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih juga dapat bernilai ekonomi. Sampah yang sering dianggap sebagai masalah dapat dikelola sehingga bernilai tambah. Pemerintah daerah dengan perangkatnya dapat mengkampanyekan kepada masyarakat kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, memberdayakan LSM, komunitas, relawan peduli lingkungan agar masyarakat tergugah. Niat yang tulus ini tentunya tidak mudah, perlu advokasi dan sosialisasi bertahap kepada masyarakat sesuai dengan tingkat pemahamannya agar menjadi kebiasaan dan gaya hidup (lifestyle) dan bukan karena adanya larangan dalam aturan tertulis.

Akhir kata, tidak membuang sampah sembarangan adalah salah satu gerakan sosial untuk menyadarkan kembali kepada diri, keluarga, masyarakat dan pemimpin, komitmen menjaga kebersihan, menjaga lingkungan sebagai sebuah kebiasaan dan gaya hidup demi mewujudkan kota yang ramah lingkungan.

Sumber: 
Wiragiantimabad, S.H. (Analis Hukum Ahli Muda)
Penulis: 
Wiragiantimabad, S.H. (Analis Hukum Ahli Muda)