EKSISTENSI PERATURAN KEPALA DAERAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain melalui peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta menghambat investasi.

Berbicara mengenai peraturan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 terdiri dari 2 (dua) jenis: a. peraturan gubernur; dan b. peraturan bupati/walikota. Masing-masing peraturan kepala daerah tersebut disusun oleh penyelenggara pemerintahan daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Peraturan gubernur disusun berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan berdasarkan kewenangan. Sehingga dalam penyusunannya salah satu dari unsur/syarat pembentukan peraturan gubernur tersebut harus terpenuhi.

Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi erat kaitannya dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Dimana hierarki peraturan perundang-undangan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggangi Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Maka kekuatan hukum suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud di atas. Sebagai contoh dalam penyusunan suatu peraturan daerah provinsi tidak boleh bertentangan terhadap peraturan presiden, peraturan pemerintah apalagi undang-undang. Konsep hierarki peraturan perundang-undangan tersebut juga sejalan dengan teori hukum yang dicetuskan oleh Hans Kelsen yaitu “stufenbau theory” yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen, norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak). Contoh norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.

Lantas apabila dilihat kembali hierarki peraturan perundang-undangan di atas, kita bertanya dimana kedudukan/posisi suatu peraturan kepala daerah? Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan”

Sehingga peraturan perundang-undangan termasuk peraturan gubernur maupun peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud diatas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

Seringkali kita temukan dalam sistem hukum di Indonesia suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memerintahkan secara eksplisit untuk mengatur hal yang lebih teknis atau rinci melalui jenis peraturan yang berada di bawahnya. Sebagai contoh di dalam materi substansi/pasal peraturan daerah yang memerintahkan untuk menetapkan peraturan gubernur. Maka peraturan gubernur sesuai yang diperintahkan tersebut harus segera disusun oleh perangkat daerah terkait dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Adanya perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi juga secara langsung memberikan kewenangan serta kewajiban bagi badan/pejabat pemerintahan untuk mengatur suatu hal yang lebih teknis, rinci dan jelas (tidak samar-samar) dalam suatu peraturan kepala daerah. Perangkat Daerah sebagai unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam menjalankan kewenangan daerah tersebut diharapkan agar lebih jeli dan responsif terhadap dinamika peraturan perundang-undangan yang ada  sehingga apa yang menjadi tujuan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut dapat terwujud.

Berdasarkan Kewenangan

Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Sedangkan “wewenang” menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dari kedua pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa wewenang merupakan hak yang berada di tangan seseorang dan di dukung oleh legitimasi penuh yang digunakan untuk tujuan/kepentingan tertentu.

Berdasarkan lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah membagi urusan pemerintahan/kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan atau kewenangan tersebut bertujuan agar terciptanya efisiensi, efektifitas dan sinergitas diantara cabang kekuasaan pemerintahan tersebut dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merata. Dengan berbekal urusan pemerintahan/kewenangan yang telah dibagi dalam rangka menjalankan otonomi daerah maka hal tersebut merupakan modal dasar yang dimiliki oleh kepala daerah dalam menetapkan peraturannya.

Tanpa adanya perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dasar kewenangan yang jelas maka Gubernur/Bupati/Walikota tidak dapat menetapkan suatu peraturan kepala daerah. Karena belum tentu setiap permasalahan urusan pemerintahan yang ada di daerah harus diselesaikan dengan regulasi (peraturan kepala daerah) melainkan hanya butuh action/implementasi dalam bentuk program/kegiatan. Untuk itu Perangkat Daerah sebagai unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam menjalankan kewenangan daerah diharapkan agar memberi perhatian lebih dan responsif terhadap dinamika peraturan perundang-undangan yang ada sehingga roda pembangunan hukum di daerah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Sumber: 
BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Penulis: 
GALIH PRIHANDANI UTOMO, S.H.