BUDAYA LOKAL PADA USIA PERKAWINAN

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang bercirikan kepulauan dengan produk unggulan timah, lada, karet dan sawit yang mendominasi penduduknya pada sektor tersebut untuk berusaha menghidupi keluarga ditengah kerasnya tantangan mencukupi perekonomian keluarga dan proses peningkatan taraf hidup sendiri walaupun saat ini produk tersebut sedang mengalami penurunan nilai jual di tingkat bawah. Keberlangsungn penurunan harga yang terlalu lama dapat menyebabkan para pelaku memutarkan otak dalam mencukupi kebutuhan hidup secara normal apalagi dalam menumbuhkembangkan anak pada usia remaja dengan tingkat ekonomi saat ini yang perlu dipersiapkan agar selalu sehat jasmani rohani mental dan spritual. Diketahui dari jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ± 1,5 juta jiwa memiliki jumlah anak usia remaja yang bekerja ± 450 ribu dan pengangguran ± 16 ribu. (https://babel.bps.go.id/dynamictable/2018/01/23/408/)

Usia remaja yang sangat rentan dengan masalah kompleks seiiring dengan masa peralihan atau masa transisi diantaranya seks pranikah, nakoba dan pernikahan dini. Mengingat data BPS 2017, angka pernikahan dini di Provinsi Bangka Belitung berada di posisi tertinggi ketiga di Indonesia dengan Persentase yaitu 68 persen warga menikah di bawah usia muda atau di bawah 21 tahun, sekitar 50 persen dari persentase tersebut tercata hamil di usia muda. Penurunan angka pernikahan dini diharapkan mampu dilakukan sejalan dengan telah dikeluarkan putusan oleh Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU Perkawinan terkait batas usia perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak disyaratkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun sehingga batas usia yang diatur dalam UU Perkawinan masih masuk kategori anak-anak.

Pendidikan merupakan salah satu elemen penting dari penciptaan pola pikir para remaja menuju jenjang pernikahan baik segi formal maupun informal. Pendidikan formal yang didapat dengan program wajib belajar yang diatur oleh peraturan perlu didukung dengan menggiatkan secara berkala edukasi yang bersifat membangun karakter terhadap dampak dari pernikahan dini. Pembekalan yang dapat menumbuhkan bakat dan edukasi melalui sosialisasi dan dialog interaktif terus dilakukan oleh pemerintah Tetapi tidak kita pungkiri pendidikan formal dapat diabaikan apabila dalam keluarga tersebut mempunyai tingkat kehidupan yang rendah atau ekonomi lemah yang pengaruh besar pada pendidikan informal.

Anak yang putus sekolah ataupun tidak mengenyam pendidikan formal mempunyai pola pikir yang berbeda menghadapi kesenjangan pemerataan pembangunan yang berbeda pada tiap daerah dan tergantung dari tradisi dan budaya lokal. Kebiasaan pada daerah tertentu berbeda dengan ciri khas produk unggulan yang merupakan mata pencaharian. Penekanan interaksi sosial perempuan dengan laki-laki pada usia remaja atau usia anak (menurut UU Perlindungan anak) perlu dibatasi dengan peranan keluarga yang berperan aktif dalam memberikan wawasan kepada sang anak akan dampak dari pernikahan dini dari sudut pandang kesehatan, psikologis dan mental.

Ketergantungan terhadap produk unggulan di daerah menjadi fokus mata pencarian bagi penduduk lokal menjadikan kulturisasi masyarakat yang menikah secara dini dapat meningkat. Kesenjangan perekonomian memicu untuk melepaskan anak perempuan mengayuh bahtera kehidupan dalam ikatan perkawinan dengan anak laki-laki yang secara negara belum dibolehkan, tetapi tingkat pemahaman agama yang berbeda-beda dapat memupuskan aturan yang negara buat karena usia perkawinan dalam agama islam mensyaratkan yaitu usia yang sudah aqil baligh. Sebagai contoh suatu keluarga yang memiliki anak perempuan berstatus pelajar menempuh perjalanan sekolah yang membutuhkan ongkos transportasi yang tidak sedikit, ditengah himpitan ekonomi, keluarga tersebut terpaksa memberhentikan naknya sekolah dengan alasan tidak ada biaya sekolah, untuk membantu perekonomian keluarga, sang anak bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dan pada akhirnya berkeinginan melanjutkan kejenjang perkawinan walaupun usia mereka masih tergolong anak-anak menurut UU Perlindungan Anak. Sebagai langkah mencegah hal yang tabu bagi keluarga, sang anak dinikahkan pada usia tersebut. Hal itu lumrah terjadi, pada daerah tersebut, dikarenakan orang tua mereka terdahulu juga melaksanakan pernikahan pada usia dibawah 16 tahun atau dibawah 18 tahun.

Berbagai macam unsur penguatan budaya lokal terhadap perkawinan dini seakan sudah menjadi tradisi dan peranan pemerintah harus terus berkomitmen dalam menguraikan dan melakukan terobosan-terobosan untuk mencegah pernikahan dini serta Pemerintah telah berusaha menyatukan persepsi dari segi usia perkawinan pada tingkat konstitusi.

Pemerintah perlu menyasar anak-anak dari tingkat SD sampai dengan SMA sesuai dengan program wajib belajar dengan kegiatan-kegiatan yang menampilkan keahlian dan keterampilan dalam pengembangan bakat menggapai prestasi dan cita-cita selain itu dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri dan pemahaman terkait pernikahan dini yang dapat menyebabkan tingginya angka perceraian dan kematian ibu hamil. Merupakan pekerjaan rumah dari pembuat undang-undang untuk merubah undang-undang perkawinan terkait usia perkawinan walaupun dalam konteks kebiasaan telah menjadi kultur bagi suatu daerah yang perlu pendekatan secara intens dalam mengubah paradigma pernikahan pada usia dini.

Penulis: 
Miro Bastian, S.H.