Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.Frasa mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi persoalan tersendiri jika kita melihat Indonesia secara umum. Berkurangnya kualitas lingkungan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya polusi udara, pencemaran sungai dan ekosistem lingkungan hidup, pengrusakan kawasan hutan lindung, pembukaan lahan yang tidak terkendali, dan pemahaman pengelolaan sampah yang rendah. Tentunya semua faktor tersebut akan menimbulkan dampak kumulatif terhadap perubahan iklim/pemanasan global. Sehingga berimbas pada penurunan kualitas lingkungan hidup.
Pengelolaan sampah selama ini belum dilakukan sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan serta dapat menghambat laju pembangunan suatu daerah. Persoalan pengelolaan sampah memang tidak semudah diucapkan dalam upaya untuk mencari solusi penyelesaian, akan tetapi jika dilakukan dengan metode dan kaidah pengelolaan yang lebih mengedepankan kelestarian lingkungan maka permasalahan mengenai sampah dapat diminimalisir.
Permasalahan yang timbul saat ini adalah overkapasitas dari Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Kota Pangkalpinang atau lebih dikenal dengan nama TPA Parit Enam. Kota Pangkalpinang merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimana memiliki ciri identik sebuah kota yakni permasalahan sampah. Permasalahan ini telah timbul sejak lima tahun silam namun sampai saat ini belum ditemukan solusi atas permasalahan tersebut. Tidak dapat dipungkiri laju pertambahan penduduk Kota Pangkalpinang dan perubahan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam.
Setiap harinya sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kota Pangkalpinang sebanyak 150 ton sampah yang keseluruhannya diangkut menuju TPA Parit Enam. TPA Parit Enam memiliki total luas areal keseluruhan hanya berjumlah total 2,3 (dua koma tiga) hektar, membuat Walikota Pangkalpinang pun kebingungan karena tidak memiliki lahan alternatif untuk memindahkan TPA Parit Enam atau membuat TPA Sampah yang baru. Selain itu metode pengolahan sampah di TPA Parit Enam masih sederhana dengan menggunakan sistem open dumping. Tidak dipungkiri bahwa laju pertambahan jumlah penuduk di Kota Pangkalpinang juga mempengaruhi pertumbuhan pembangunan jumlah hunian baru di wilayah Kota Pangkalpinang. Pertumbuhan pembangunan jumlah hunian baru juga terjadi di daerah sekitar TPA Parit Enam. Hal ini terjadi dikarenakan semakin terbatasnya jumlah ketersediaan lahan yang ada di Kota Pangkalpinang Sehingga banyak masyarakat yang nekat untuk membangun hunian di sekitar TPA Parit Enam dengan mengesampingkan aspek kesehatan dan aspek lingkungan hidup yang baik dan aman.
Melihat kondisi eksisting saat ini TPA Parit Enam Kota Pangkalpinang berada sangat dekat dengan Bandar Udara Depati Amir Kota Pangkalpinang. Bandar Udara Depati Amir merupakan pintu gerbang utama yang melayani lalu lintas udara di pulau Bangka. Menariknya keberadaan TPA Parit Enam persis bersebelahan dengan salah satu runway bandar udara. Hal ini tentu saja kontraproduktif disaat bersamaan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sedang berupaya untuk mengeliatkan potensi pariwisata bahari akan tetapi persoalan tata ruang dalam hal ini keberadaan TPA Parit Enam sangat dekat dengan Bandar Udara Depati Amir. Sebagai sebuah pintu gerbang utama guna menyambut kedatangan wisatawan domestik maupun mancanegara maka nilai hospitality perlu diutamakan. Bagaimana agar wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya Kota Pangkalpinang dapat betah dan nyaman untuk mengeksplore keindahan pariwisata bahari dan pariwisata lainnya.
Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah angka I Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota huruf K Bidang Lingkungan Hidup mengenai Persampahan mengatur bahwa penanganan sampah di TPA/TPST regional kewenangannya berada pada pemerintah daerah provinsi. Pembangunan TPA/TPST regional dipercaya dapat menjadi solusi dari tidak tersedianya lahan alternatif yang berada pada Tata Ruang Kota Pangkalpinang sehingga mengharuskan mencari lokasi lain yang berada dalam wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini perlu dilakukan fasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung karena berkaitan dengan lintas pemerintah kabupaten/kota.
Pemilihan lokasi TPA/TPST regional harus memenuhi antara lain aspek geologi, aspek hidrogeologi, aspek kemiringan zona, aspek jarak dari lapangan terbang, aspek jarak dari permukiman, tidak berada di kawasan lindung/cagar alam, dan bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh lima) tahun. Pemilihan lokasi TPA/TPST regional juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pengelolaan sampah regional ditujukan untuk sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Dikarenakan mayoritas dari volume sampah yang diangkut ke TPA Parit Enam adalah sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam melakukan kegiatan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah regional dapat membentuk lembaga pengelola sampah dalam bentuk badan usaha milik daerah atau badan layanan umum daerah persampahan. Selain itu Pemerintah Provinsi juga dapat bermitra dengan badan usaha atau masyarakat serta bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Diharapkan kepada pemangku kepentingan agar segera menyusun kajian akademik/penelitian dalam rangka pembangunan TPA/TPST Regional di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berbekal hasil kajian tersebut maka selanjutnya dimasukan ke dalam Daftar Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2023.
Tak kalah penting adalah mengembangkan pola pikir bagaimana caranya mengelola sampah agar menjadi sumber daya. Sebagai contoh pengolahan sampah organik dapat dimanfaatkan atau diubah menjadi Pupuk Organik. Hal ini tentu dapat menggerakkan perputaran roda perekonomian walaupun pada skala yang kecil. Selain itu, pengelolaan sampah anorganik setelah dilakukan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang maka sampah anorganik dapat juga dapat menghasilkan nilai ekonomis. Hal inilah yang dinamakan dengan ekonomi sirkular dimana pada saat kegiatan ekonomi sedang berlangsung maka kita dapat memaksimalkan kegunaan dan nilai tambah dari suatu bahan mentah, komponen, produk sehingga mampu mereduksi jumlah bahan sisa yang tidak digunakan dan dibuang ketempat pembuangan akhir. Selanjutnya pengelolaan sampah juga dapat dijadikan sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini termanifestasikan dengan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau biasa dikenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah merupakan pembangkit listrik termal dengan uap supercritical steam dan berbahan bakar sampah atau gas metana sampah. Konsep ini telah terlebih dahulu digunakan dan dikembangkan oleh negara-negara maju. Seharusnya apabila dikelola dengan baik maka sampah tidak akan menjadi sumber masalah.