PROBLEMATIKA EVALUASI RAPERDA KABUPATEN/KOTA

Evaluasi rancangan peraturan daerah (raperda) kabupaten/kota yang dalam pengertiannya adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan perda yang diatur sesuai undang-undang di bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Raperda kabupaten/kota yang akan dievaluasi berdasarkan Pasal 95 Permendagri 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, terdiri atas RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah, rencana pembangunan industri kabupaten/kota dan pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa.

Prosesnya dalam aturan Permendagri tersebut Bupati menyampaikan raperda Kabupaten/kota kepada Gubernur paling lama 3 (tiga) hari sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota. Penyampaian raperda tersebut dilakukan untuk mendapatkan evaluasi gubernur dalam rangka menguji kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

Dalam proses evaluasi tersebut gubernur diperintahkan untuk berkonsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri dengan bentuk konsultasi berupa penyampaian keputusan gubernur tentang evaluasi raperda kabupaten/kota untuk dilakukan pengkajian.

Prosedur evaluasi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dijelaskan di atas sangat jelas dan sistematis sehingga memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi.

Selain peraturan mengenai prosedur juga terdapat peraturan lain mengenai tata cara evaluasi guna memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi misalnya terkait pajak dan retribusi daerah diatur dalam Permendagri 105 Tahun 2016 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah.

Walaupun prosedur serta tata cara telah diatur secara lengkap bukan berarti pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan, sebagai kritikan jika ditelaah lagi terhadap beberapa peraturan terkait proses evaluasi terdapat beberapa hal yang belum diakomodir dalam peraturan-peraturan tersebut, antara lain misalnya penentuan “lamanya” proses evaluasi baik itu yang dilakukan oleh gubernur maupun pengkajian pada tahap disampaikannya raperda kabupaten/kota kepada kemendagri.

Perlunya batas waktu ini dilakukan sebagai bentuk kepastian dan kejelasan dalam proses evaluasi, sebab apabila tanpa kepastian dampaknya sangat besar bagi daerah, hal ini misalnya pada saat penyusunan raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang seharusnya dalam waktu tertentu daerah sudah dapat memungut terkendala akibat proses panjang evaluasi yang mengakibatkan lost income bagi daerah khususnya kabupaten/kota.

Kemudian penegasan batas waktu tersebut tidak hanya mengenai waktunya saja tetapi perlu diimbangi dengan “hak kabupaten/kota” apabila batas waktu telah terlewati atau habis, sehingga ada keberimbangan antara hak dan kewajiban. Dengan kata lain kabupaten/kota berkewajiban melaksanakan sesuai ketentuan dan berhak menetapkan raperdanya menjadi perda apabila batas waktu yang diberikan telah terlampaui sehingga peraturan yang ada tidak terkesan “berat sebelah”.

Hal ini antara lain dapat dilihat misalnya dalam Pasal 11 dan Pasal 20 Permendagri 105 Tahun 2016 bahwa daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti hasil evaluasi pada batas waktu 7 (tujuh) hari akan dikenakan sanksi yang salah satunya penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH. Tetapi di lain pihak tidak ada sanksi mengenai berlarut-larutnya proses konsultasi oleh Kementerian.

Kendala berlarutnya evaluasi ini bisa dipahami antara lain karena keterbatasan jumlah sumber daya manusia,  intensitas pengajuan evaluasi dari berbagai daerah atau proses pengkajian yang harus melibatkan kementerian lainnya. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah tidak bisa diselesaikan mengingat urgensi raperda yang segera harus ditetapkan.

Untuk menyelesaikan persoalan ini bagi penulis perlu ada kebijaksanaan dari kemendagri untuk meninjau ulang peraturan mengenai evaluasi dengan melibatkan stakeholders terkait sehingga perumusan norma dalam peraturan perundang-undangan berangkat dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan pertimbangan seobjektif mungkin dengan tujuan tidak ada lagi pihak yang dirugikan terkait pelaksanaan evaluasi seperti hilangannya pendapatan daerah.

(saran & kritik: sulaiman.ibrahim.m2@gmail.com)

Penulis: 
SULAIMAN, S.H.