ANALISA “PERDA SYARIAH ATAU AGAMA” DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN

Munculnya pemberitaan terkait dengan penolakan terhadap Peraturan Daerah (Perda) Syariah atau Agama oleh beberapa oknum anggota partai politik menjadi bahan perbincangan menarik dipelbagai media baik elektronik, cetak maupun media sosial bahkan sampai pada perbincangan warung kopi.

Sulit dipungkiri bahwa pernyataan penolakan tersebut kental dengan nuansa perpolitikan yang tidak berapa lama lagi akan digelarnya pesta demokrasi berupa pemilihan langsung legislatif dan eksekutif.

Terlepas dari kepentingan politik serta pesta demokrasi yang akan digelar, penulis berusaha mencari titik temu problematika Perda Syariah atau Agama dari perspektif hukum ketatanegaraan Indonesia dengan fokus masalah apakah dimungkinkan pembentukan Perda Syariah atau Agama di Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana diketahui bahwa Perda Syariah atau Agama merupakan Perda yang mengatur mengenai tatanan kehidupan sosial sesuai dengan tuntunan agama. Sebagai contoh di Aceh terdapat Perda atau yang disebut Qanun yang mengatur berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam.

Jika dipahami secara konstitusional, Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan Pasal 18B ini dapat dipahami bahwa konstitusi memberikan ruang kepada pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan tindaklanjut kekhususan dan keistimewaan tersebut diatur dalam undung-undang tersendiri sehingga hak khusus atau istimewa menjadi kewenangan daerah tertentu.

Dalam tulisan ini penulis lebih fokuskan khusus mengenai Aceh. Misalnya untuk keistimewaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, yang keistimawaan tersebut merupakan kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Dalam kandungan undang-undang tersebut Aceh diberikan kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki. Selain itu penyelenggaraan keistimewaan antara lain penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang selanjutnya diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah.

Singkatnya, dengan landasan delegasi Pasal 18B UUD 1945 yang turunannya berupa Undang-Undang 44 Tahun 1999 yang selanjutnya didelegasikan lagi kepada peraturan daerah, secara tatanan peraturan perundang-undangan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam melalui peraturan daerah di Aceh tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan konstitusi serta peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian secara yuridis Aceh berhak menetapkan aturan berupa peraturan daerah terkait pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya dengan batas wewenang yang diberikan oleh undang-undang tersebut.

Bagi penulis suatu Perda sebagai salah satu sistem kerangka hukum nasional walaupun hak tersebut sudah melekat berdasarkan amanah peraturan bukan berarti mengabaikan kewajibannya, dalam arti haknya telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan pertimbangan terdapat kewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan lainnya. Misalnya satu sisi merupakan haknya menetapkan peraturan daerah terkait pelaksanaan syariat Islam, disisi lain harus mematuhi ketentuan mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas materi muatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Lebih jauh selain sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya, juga perda syariah harus sesuai dengan ketentuan syariat Islam sendiri karena apabila bertentangan bukan hanya peraturan daerah yang dipertaruhkan tetapi juga Islam sebagai agama. Hal ini bukan tanpa alasan sebab bagaimanapun proses pembentukan peraturan daerah di Indonesia dilakukan oleh dua unsur penyelenggara pemerintahan daerah yaitu kepala daerah dan DPRD sebagai pejabat yang berwenang dalam menetapkan peraturan daerah yang notabene dipilih melalui proses politik.

Sebagaimana diketahui bahwa proses politik ini merupakan salah satu produk demokrasi dimana pemilihan calon relatif lebih berdasarkan kepentingan partai politik mengingat berbagai dinamika permasalahan yang terjadi sampai saat ini. Selain itu belum adanya mekanisme yang mengatur kompetensi calon baik legislatif maupun eksekutif daerah terkait dengan kompetensi dalam bidang agama.

Beberapa kritikan terjadi terkait penolakan perda syariah atau agama tidak terlepas dari cerminan “materi muatan” peraturan daerah yang dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan. Oleh karena itu yang perlu diperhitungkan bukan upaya melawan kritikan tetapi kebijaksanaan dari pemangku kepentingan di daerah khususnya yang diberikan wewenang khusus dan istimewa untuk melaksanakan kewenangannya melalui menetapkan peraturan daerah dengan pertimbangan yang arif dan bijaksana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga peraturan yang ditetapkan dapat merangkul setiap elemen masyarakat.

Sedangkan kepada pihak yang merasa dirugikan akibat penetapan perda syariah atau agama terdapat upaya hukum yang diberikan oleh konstitusi melalui mekanisme yudicial review atau uji materi terhadap materi muatan peraturan daerah yang dianggap bertentangan melalui pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Agung) sehingga nantinya yang menentukan atau memutuskan bertentangan atau tidaknya adalah pengadilan.

Akhirnya sebagai masukan kiranya setiap perda yang mengandung materi muatan agama sebelum diberlakukan perlu kebijaksanaan melalui proses pengkajian yang mendalam, tidak hanya memperhatikan wewenang yang diberikan tetapi juga yang terpenting rasa keadilan bagi setiap warga masyarakatnya, karena pada dasarnya substansi keadilan itu sendiri tidak bisa dipungkiri merupakan perintah atau ajaran semua agama yang harus diamalkan oleh setiap pemeluknya.

(saran & kritik: sulaiman.ibrahim.m2@gmail.com)

Penulis: 
SULAIMAN, S.H.