Ketentuan sanksi pidana dan sanksi administratif dalam sebuah peraturan memberikan dampak bagi pelanggarnya, karena sebagai “alat pemaksa” sanksi dimaksudkan untuk membuat keteraturan sehingga sejalan dengan tujuan pengaturan tersebut.
Sanksi pidana dan sanksi administratif merupakan dua hal yang berbeda baik dalam penerapan maupun perolehan hak negara atas pelanggaran tersebut sehingga memiliki dampak yang berbeda. Dengan demikian manakah diantara keduanya yang lebih potensial untuk diterapkan khususnya dalam peraturan daerah baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi.
Menurut UU 12 Tahun 2011 ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah dan batas maksimalnya untuk peraturan daerah kurungan enam bulan dan pidana denda lima puluh juta rupiah.
Sedangkan sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan peraturan yang bersifat administratif yang dapat berupa pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional.
Peraturan sering dikaitkan dengan sanksi terutama sanksi pidana, anggapan bahwa sanksi pidana harus dimuat dalam peraturan daerah tertentu, karena selain sebagai “efek jera” tanpa sanksi pidana peraturan tersebut tidak “bertaring” atau sulit dilaksanakan. Argumen demikian bagi penulis tidak sepenuhnya benar, sebab dimuat ataupun tidak bukanlah menjadi parameter keberhasilan serta urgensi peraturan. Jika ditinjau dari alasan kenapa pemerintahan dibentuk substansinya adalah untuk menjadi pelayan masyarakat bukan untuk “memaksa” atau memberikan sanksi, karena ada banyak upaya pemerintah yang dapat dilaksanakan dalam menyelesaikan persoalan tanpa harus dengan paksaan, misalnya melalui pendekatan persuasif.
Adapun sanksi administratif diterapkan umumnya untuk mengupayakan “kepatuhan” dari subyek yang dikenakan karena sanksi administratif umumnya diberikan secara bertingkat mulai dari teguran lisan, teguran tertulis dan seterusnya sampai dengan denda dan pencabutan izin.
Jika “terpaksa” harus dimuat dalam peraturan dalam artian tidak ada upaya lain yang bisa diterapkan maka sanksi terhadap pelanggaran itu harus menjadi salah satu obyek kajian apakah menggunakan sanksi pidana atau sanksi adiministratif karena secara umum memiliki potensi kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Sanksi pidana dapat berupa kurungan atau denda. Dalam hal sanksi pidana memuat denda maka sesuai aturan denda tersebut masuk kedalam kas negara dan proses penetapannya harus melalui putusan pengadilan dan mempunyai batasan maksimal. Berbeda halnya sanksi administratif yang bisa diterapkan secara langsung oleh daerah melalui alat kelengkapannya dan denda administratifnya dapat melebihi denda pada sanksi pidana dengan ketentuan penghitungannya sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut.
Selain itu pelaksanaan sanksi administratif selain prosesnya relatif lebih mudah dan cepat juga perolehan atas denda tersebut bisa langsung masuk ke kas daerah sehingga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah.
Walaupun demikian, pengenaan sanksi baik itu pidana atau administratif merupakan alternatif terakhir jika permasalahan atau persoalan tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan persuasif. Jika pun harus memilih maka perlu diperhatikan mengenai kekurangan dan kelebihan dari masing-masing sanksi sehingga pengenaan sanksi tetap berpegang pada prinsif keadilan.
(saran & kritik: sulaiman.ibrahim.m2@gmail.com)