NASKAH AKADEMIK SEBAGAI SYARAT DALAM PENYUSUNAN PROPEMPERDA

Propemperda adalah singkatan dari program pembentukan peraturan daerah. Istilah ini lebih populer sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang berdefinisi “Instrumen perencanaan program pembentukan perda provinsi dan perda kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis”.

Sementara itu, salah satu substansi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah mengatur mengenai keberadaan naskah akademik. Naskah akademik sendiri berdasarkan undang-undang ini adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah provinsi, atau rancangan peraturan daerah kabupaten/kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 propemperda disusun dengan memuat judul rancangan perda, materi yang diatur dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih lanjut materi yang diatur dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan keterangan mengenai konsep suatu rancangan perda yang meliputi:

  1. Latar belakang dan tujuan penyusunan.
  2. Sasaran yang ingin diwujudkan.
  3. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur. Dan
  4. Jangkauan dan arah pengaturan.

Keempat unsur konsep suatu rancangan perda tersebut di atas dilakukan pengkajian dan penyelarasan untuk selanjutnya dituangkan dalam naskah akademik. Pada tahap ini secara implisit sebenarnya kita sedang menyusun suatu naskah akademik. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan “latar belakang dan tujuan penyusunan” pada poin a, merupakan bagian yang nantinya akan dituangkan ke dalam BAB I Pendahuluan yang ada dalam sistematika penyusunan naskah akademik. Secara logis dapat kita simpulkan bahwa apabila rancangan perda telah disusun maka seharusnya disertai dengan naskah akademik.

Sebelum menyusun suatu naskah akademik perda, para pengambil kebijakan daerah juga melakukan pengkajian dan penelitian hukum guna memperoleh data dan informasi yang komprehensif serta relevan dengan substansi materi yang hendak diatur. Sehingga besar kemungkinan perda yang dibentuk berdasarkan naskah akademik akan dapat diterima oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam proses terbentuknya perda, keberadaan naskah akademik mempunyai kedudukan yang cukup kuat karena sejak proses awal perencanaan telah dimulai penyusunan suatu naskah akademik.

 Akan tetapi pada pengaturan di pasal-pasal selanjutnya, yaitu Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Kemudian pada Pasal 56 ayat (3) menyatakan Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

Hal ini tentu saja dapat menjadi problem dikarenakan sepanjang frasa disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Tidak diikuti dengan bahasa norma wajib/harus sehingga menimbulkan berbagai tafsir, seperti halnya hanya bersifat fakultatif/pilihan dan bisa dilengkapi dengan keterangan atau penjelasan bagi para pengambil kebijakan di daerah. Memang ada benarnya ketika kewajiban menyusun naskah akademik dapat digantikan dengan hanya menyusun penjelasan atau keterangan. Hal tersebut ditujukan jika rancangan perda yang akan disusun dalam ruang lingkup rancangan perda APBD, pencabutan perda dan perubahan perda yang hanya mengubah sedikit terhadap substansi materinya.

Pada dasarnya keberadaan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik diperlukan, karena suatu perda merupakan platform bagi pemerintah di daerah untuk menuangkan usulan, pendapat, kebijakan dan/atau aspirasi masyarakat yang bertujuan dalam pembangunan daerah. Diharapkan dari suatu perda mampu menghasilkan aturan yang dapat menunjang pembangunan daerah kearah yang lebih baik dan maju. Sedangkan pada tataran implementasi suatu perda harus mempunyai sasaran yang jelas dan dibentuk agar membawa manfaat bagi masyarakat luas.

Naskah akademik akan memaparkan alasan, fakta atau latar belakang masalah sehingga menjadi pendorong disusunnya penyelesaian terhadap permasalahan atau urusan yang mendesak perlu diatur melalui perda. Hal ini berarti naskah akademik merupakan media konkrit bagi peran serta masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan perda. Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu diperjelas di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni Pasal 33 yang harus menyebutkan secara gamblang bahwa naskah akademik perlu disusun mulai sejak tahap perencanaan pembentukan perda. Selain itu, pada Pasal 56 ayat (2) perlu ditambahkan norma “wajib/harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik”. Sehingga dalam implementasinya para pengambil kebijakan tidak lagi gamang dalam menyusun naskah akademik (tetap memperhatikan rancangan perda yang dikecualikan) atau yang sering terjadi dalam praktek adalah naskah akademik biasanya muncul pada “episode-episode” belakangan.

Sumber: 
BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Penulis: 
GALIH PRIHANDANI UTOMO, S.H.