Belum hilang dari ingatan kita bahwa pada tanggal 13 Juni Tahun 2016, Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan bahwa telah dilakukan pembatalan terhadap perda dan perkada sejumlah 3.143 di seluruh Indonesia. Perda dan perkada yang dibatalkan dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Selain itu peraturan tersebut berpotensi memperlambat proses perizinan dan investasi serta mempersulit orang untuk berinvestasi. Meskipun kemudian dalam perjalanannya kewenangan pembatalan perda dan perkada yang dimiliki Mendagri dan Gubernur telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor: 56/PUU-XIV/2016. Sejatinya seluruh kepala daerah dan pimpinan DPRD hendaknya dapat mengambil pelajaran bahwasanya dalam membuat perda dan perkasa harus dapat mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerahnya bukan malah sebaliknya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk penyusunan perda dan perkada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 wajib memenuhi beberapa asas meliputi:
- Kejelasan tujuan (beginsel van duidelijke doelstelling);
- Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
- Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan;
- Dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
- Kedayagunaan atau kehasilgunaan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
- Kejelasan rumusan; dan
- Keterbukaan.
Dalam hal ini apabila kita analisa lebih lanjut ke-7 (tujuh) asas tersebut, maka asas kedayagunaan atau kehasilgunaan dapat kita jadikan sebagai “asas utama” Mengapa demikian? Hal ini tercermin dari penjelasan asas kedayagunaan atau kehasilgunaan yaitu setiap peraturan perundang-undangan (termasuk di dalamnya perda dan perkada) dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menjadi sebuah kekeliruan ketika lembaga ataupun pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan kurang memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga malah menambah kesulitan hidup mereka.
Faktanya berbanding lurus di negara kita banyak peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya perda dan perkada yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan menyulitkan investasi. Penulis berasumsi demikian tanpa bermaksud untuk mengesampingkan asas yang lainnya karena seluruh asas yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan “filter” dalam meramu suatu peraturan agar berkualitas baik.
Mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Apabila kita mengacu pada fakta banyaknya perda dan perkada yang dibatalkan di seluruh Indonesia tentu akan memunculkan banyak pertanyaan seperti apakah ada yang salah dalam proses pembentukan perda dan perkada selama ini? Ataukah pengawasan dan pembinaan secara berjenjang oleh pemerintah pusat atau pemerintah provinsi belum berjalan optimal? Tentu saja pertanyaan tersebut akan dapat dijawab apabila kita mengetahui bagaimana tata cara ataupun mekanisme dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta bagaimana bentuk pengawasan dan pembinaannya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk di dalamnya perda dan perkada) adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sebagai contoh dalam penyusunan perda pada tahapan perencanaan didahului melalui penyusunan prolegda. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi “perencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi dilakukan dalam prolegda provinsi”. Di dalam prolegda tersebut memuat program dengan berisi judul rancangan perda, materi yang diatur (dituangkan dalam naskah akademik), dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (dituangkan dalam naskah akademik). Selain itu penyusunan daftar prioritas dalam prolegda didasarkan atas:
- Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
- Rencana pembangunan daerah;
- Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
- Aspirasi masyarakat.
Dengan demikian dapat kita asumsikan bahwa semenjak awal tahapan pembentukan perda seharusnya tidak ada perda/rancangan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi apalagi sampai bertentangan dengan kepentingan umum dikarenakan harus berdasarkan perintah aturan di atasnya dan harus mengakomodir seluruh aspirasi dan keinginan dari masyarakat luas.
Setelah kita mengetahui tahapan perencanaan, maka selanjutnya kita akan menuju pada tahapan penyusunan. Pada tahapan penyusunan, rancangan perda dapat berasal dari DPRD atau Gubernur. Dan pada tahapan penyusunan ini kita akan mengenal istilah pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi terhadap rancangan perda. pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi masing-masing akan dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD dibidang legislasi dan Biro Hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa “setiap penyusunan rancangan perda baik yang berasal dari DPRD maupun Gubernur disertai dengan penjelasan, atau keterangan dan/atau naskah akademik”.
Jika rancangan perda telah disusun dan melalui proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi maka selanjutnya terhadap rancangan perda tersebut disampaikan melalui sidang paripurna DPRD. Apabila dalam satu masa sidang ternyata DPRD dan Gubernur menyampaikan rancangan perda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan perda yang disampaikan oleh DPRD dan rancangan perda yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Dengan demikian kita telah memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahapan pembahasan. Pembahasan rancangan perda dilakukan secara bersama-sama antara DPRD dan Gubernur. Pelakasanaan pembahasan dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan seperti dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD bidang legislasi dan rapat paripurna.
Proses pembahasan bersama terhadap rancangan perda antara DPRD dan Gubernur ditujukan agar tercapai persetujuan bersama diantara kedua lembaga dan pejabat pembentuk perda tersebut. Apabila suatu rancangan perda telah disetujui maka Pimpinan DPRD menyampaikan kepada Gubernur untuk selanjutnya dilakukan penetapan, pengesahan dan diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Evaluasi sebagai alat kontrol
Definisi evaluasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 adalah “pengkajian dan penilaian terhadap rancangan perda yang diatur sesuai undang-undang di bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pengkajian dan penilaian dilakukan secara berjenjang oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah provinsi dan oleh pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota.
Evaluasi harus dilakukan terhadap rancangan perda meliputi RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan dan diundangkan menjadi perda. Kewajiban evaluasi tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Pasal 91 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah jo Pasal 157 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Disamping itu, ternyata DPD RI berdasarkan ketentuan Pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mendapatkan tambahan kewenangan baru yaitu “melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan perda dan perda”. Penambahan kewenangan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif. Pada sisi positif kewenangan tersebut menjadi penambah kualitas perda karena mendapatkan proses screening dari cabang kekuasaan legislatif dan sisi negatif yaitu mekanisme dan format pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh DPD RI belumlah jelas apakah berjalan secara sendiri-sendiri ataukah menganut pola koordinatif bersama kementerian yang telah melaksanakan evaluasi, dan dapat menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan dengan kementerian terkait dikarenakan telah memiliki kewenangan mengevaluasi rancangan perda serta dapat memperlambat penetapan perda dikarenakan proses evaluasi yang panjang.
Apabila kita melihat pengaturan mengenai evaluasi yang demikian rigid maka harapannya tidak ada lagi rancangan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan kepentingan umum. Lantas kepentingan umum bagaimana yang tidak boleh dilanggar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk perda? Berdasarkan ketentuan Pasal 250 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa mengganggu kepentingan umum meliputi:
- terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
- terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
- terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
- terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
- diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan gender.
Proses panjang dalam pembuatan peraturan perundang-undangan termasuk perda yang dimulai dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan serta dilakukannya evaluasi bagi rancangan perda yang diwajibkan, bermuara pada pertanyaan masih perlukah Fasilitasi terhadap rancangan Perda sebagai bentuk pembinaan? Tentu saja hal tersebut jika bertujuan untuk kesempurnaan dan peningkatan kualitas dari suatu perda kenapa tidak kita lakukan. Apalagi jika kita menilik ketentuan Pasal 88 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 mengatur bahwa “Fasilitasi terhadap rancangan perda tidak diberlakukan terhadap rancangan perda yang dievaluasi”. Dengan demikian fasilitasi hanya dilaksanakan bagi rancangan perda selain yang dievaluasi. Sehingga menjadi suatu hal yang wajar jika rancangan perda selain yang dievaluasi perlu dilakukan mekanisme fasilitasi.
Akan tetapi penulis merasa perlu mengkritisi terkait pelaksanaan kewenangan fasilitasi yang tidak hanya dilakukan terhadap rancangan perda, melainkan juga terhadap rancangan perkada, rancangan PB KDH atau rancangan peraturan DPRD dilakukan fasilitasi. Yang menjadi kekhawatiran kita adalah pada saat pengimplementasian kewenangan tersebut. Baik Menteri Dalam Negeri maupun Gubernur diprediksi akan kewalahan dalam melaksanakan fasilitasi sesuai dengan kewenangannya masing-masing dan tenggang waktu paling lama 15 (lima belas) hari.
Jika dikaitkan dengan asas yang harus terpenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini “asas dapat dilaksanakan”, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 perlu direvisi kembali terkait dengan pelaksanaan fasilitasi tersebut. Walaupun sebenarnya dalam pelaksanaan fasilitasi jika telah terlampaui tenggang waktu paling lama 15 (lima belas) hari maka rancangan perda, rancangan perkada, rancangan PB KDH atau rancangan peraturan DPRD dilanjutkan pada tahapan selanjutnya.
Disamping itu untuk menjadi catatan kita bahwa pelaksanaan fasilitasi berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015, bukan merupakan norma wajib yang harus dilaksanakan. Penulis belum menemukan larangan suatu rancangan perda yang tidak melalui fasilitasi tidak dapat diberikan nomor register untuk selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Daerah. Sebagai penutup kita berharap kedepan semakin banyak lahirnya perda, perkada, PB KDH atau peraturan DPRD yang berkualitas baik dan dapat mendukung pembangunan sistem hukum nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.